Solusi Praktis Hilangkan Kerancauan Istilah

Labels: | No Comment »

Judul Buku : Izâlatu ‘sy-Syubhât ‘an Ma’âni ‘l-Mushthalahât

Pengarang : Dr. Muhammad Imarah

Penerbit : Dar al-Salâm

Kota Terbit : Kairo

Tebal Buku : 112 hlm.

Cet. Pertama : 2009


Bahasa merupakan salah satu faktor penting dalam menumbuhkembangkan peradaban dan mentransfer ilmu pengetahua. Ini kembali pada salah satu tugas penting bahasa itu sendiri, sebagai mediator dalam menukar pengetahuan. Dari sini, mengetahui suatu ‘istilah’ dalam bahasa tertentu adalah wajib jika memang ingin mengetahui esensi makna istilah tadi dalam bahasa tersebut. Sebab, antar satu bahasa dengan bahasa yang lain mempunyai istilah sendiri dalam menunjukkan suatu hal tertentu. Dan satu hal yang munkin saja terjadi adalah, kesamaaan istilah dalam dua bahasa atau lebih, namun istilah tersebut memilki kandungan makna yang bebeda antar satu bahasa dengan bahasa lainnya, yang biasa dikenal denga ‘kerancuan istilah’. 

Kerancuan istilah mempunyai peran signifikan dalam menimbulkan perselisihan dan perdebatan antar peradaban. Sebut saja sekarang, peradaban Islam dan peradaban Barat. Tidak sedikit istilah yang popular di dua peradaban ini namun istilah tersebut mempunyai kandungan makna yang sangat jauh berbeda di masing-masing peradaban. Baik istilah tersebut menyangkut bidang agama, politik, ekonomi, sosial, dan bidang lainnya. Kerancuan ini seharusnya segera diatasi secepat mungkin, mengingat banyaknya permasalahan yang terjadi antar kedua peradaban ini. Dan permasalahan tak kunjung usai jika solusinya adalah perundingan. Mengingat tidak adanya kesepakatan pemahaman makna antar kedua pihak dalam istilah tertentu. Banyak kosa kata yang memilki makna ganda atau lebih. Satu pihak memaknai istilah tersebut berbeda, dan bahkan berlawanan dengan makna yang dipahami oleh pihak lain.

Abu Hurairah; Testimoni Tentang Keistimewaan dan Kefakihannya

Labels: | 2 Comments »

Adalah Abu Hurairah, seorang sahabat Nabi Saw yang memeluk Islam pada tahun ke-VII setelah hijrah Nabi Saw dari Mekah ke Madinah, tahun di mana terjadi peristiwa Khaibar.  Pada masa jahiliyah ia bernama asli Abdu al-Syams. Kemudian namanya diganti oleh Nabi Saw dengan Abdurrahman. Setelah ia mengetauhi keistimewaan dan keutamaan shuhbah (mendampingi –hidup bersama- Nabi Saw), ia pun memutuskan untuk hijrah ke Madinah dan meninggalkan kampung halaman dan kabilahnya, Daus di wilayah Yaman. Bukan itu saja, faktor lain yang menjadikan ia memilih hijrah ke kota Nabi Saw adalah keinginannya yang kuat untuk memperoleh ilmu agama secara langsung dari Nabi Saw dan  juga kesadarannya bahwa dalam bidang ilmu dan pengetahuan agama, ia telah tertinggal jauh dari para sahabat lainnya yang telah dulu masuk Islam.

Kesungguhannya dalam mencari ilmu dan ketekunannya dalam mendengarkan hadits mendorong ia untuk senantiasa berada bersama Nabi Saw, baik dalam kondisi berpergian maupun sebaliknya. Sehingga tidak mengherankan jika ia termasuk golongan para sahabat yang banyak meriwaayatkan hadits. Dan bahkan, ia tercatat sebagai perawi hadits yang ‘paling banyak’ meriwayatkan hadits-hadits Nabi Saw. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar ketika diketahui bahwa ia masuk Islam pada tahun ke-VII H dan Nabi Saw wafat pada tahun XI H. Ada waktu sekitar 4 sampai 5 tahun yang ia gunakan dalam menimba ilmu dan mengambil hadits dari Nabi Saw. Sedang di sisi lain, banyak para sahabat Nabi Saw yang telah dulu masuk Islam dan berkesempatan hidup bersama Nabi Saw lebih lama dibandingkan dengan Abu Hurairah. Namun realita berbicara bahwa periwayatan mereka terhadap hadits tidak melebihi apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Jika demikian halnya, lantas apakah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah semuanya benar-benar dari Nabi Saw(?)



Urgensi Sebuah Loyalitas

Labels: | No Comment »

Organisasi dalam tubuh Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) sudah seperti jamur yang bertebaran di musim hujan. Hampir setiap sudut tubuh Masisir ditemukan organisasi dengan berbagai macam visi dan misi. Oragansai sudah menjadi hal yang lazim ada di Masisir, tak lain adalah sebagai tempat pelarian untuk berkumpul, berkreasi dan mengembangkan potensi diri. Mengingat, fasilitas seperti ini tidak ditemukan di tempat utama mereka mencari ilmu, al-Azhar al-Syarif. Kreatifitas membentuk organisasi pun berkembang di kalangan Masisir setelah mereka merasa bahwa mereka butuh wadah untuk berkreasi. Sehingga tak mengherankan jika banyak sekali organisai yang lahir berlatar belakang hanya persamaan persepsi.

Namun dari banyaknya kuantitas organisasi tersebut, tidak sedikit di antaranya yang ‘mandeg’ atau tersendat di tengah jalan. Tidak lain penyebab dari itu semua adalah minimnya rasa loyalitas yang dimiliki oleh masing-masing anggota oranisasi tersebut, yang akhirnya berakibat juga pada kurang maksimalnya pelaksanaan program kegiatan. Loyalitas organisator mempunyai peran yang sangat signifikan bagi eksistensi sebuah organisasi. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa setiap laju roda organisasi membutuhkan orang-orang yang benar-benar mau dan aktif dalam mencurahkan segala apa yang dimilkinya demi organisasi tersebut. Bahkan, nasib eksisitensi sebuah organisasi ditentukan oleh loyalitas para anggotanya terhadap organisasi tersebut.